Larangan Perusahaan untuk menahan Ijazah atau dokumen pribadi
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 tentang Larangan Penahanan Ijazah dan/atau Dokumen Pribadi Milik Pekerja/Buruh oleh Pemberi Kerja. Surat edaran ini menjadi tonggak penting dalam upaya penguatan hak-hak pekerja, khususnya terkait kepemilikan dan penguasaan dokumen pribadi yang selama ini rawan disalahgunakan oleh pihak perusahaan.

Surat Edaran M/5/HK.04.00/V/2025 memuat ketentuan sebagai berikut:

  1. Larangan Mutlak Penahanan Dokumen Pribadi
    Pemberi kerja dilarang menahan ijazah, sertifikat, atau dokumen pribadi milik pekerja dalam bentuk apa pun. Pengecualian hanya diberikan apabila terdapat pembiayaan pendidikan atau pelatihan oleh perusahaan, yang disertai perjanjian tertulis dan jaminan pengembalian dokumen.
  2. Mekanisme Pengawasan dan Sanksi
    Pemerintah melalui instansi terkait wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Pelanggaran atas ketentuan dapat dikenai sanksi administratif hingga tindakan hukum, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

Dampak dan Implikasi Kebijakan:

  1. Meningkatkan Kebebasan Pekerja Dengan larangan penahanan ijazah dan dokumen pribadi, pekerja memiliki kendali penuh atas identitas dan rekam jejak mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk berpindah kerja tanpa hambatan administratif yang sering digunakan sebagai cara untuk membatasi mobilitas tenaga kerja.
  2. Mencegah Penyalahgunaan dan Eksploitasi Beberapa perusahaan menggunakan praktik penahanan dokumen sebagai cara untuk memaksa pekerja bertahan dalam kondisi kerja yang tidak ideal. Dengan kebijakan ini, pekerja bisa lebih leluasa untuk menuntut hak mereka tanpa takut kehilangan akses terhadap dokumen penting.
  3. Meningkatkan Transparansi dan Profesionalisme Larangan ini mendorong perusahaan untuk meningkatkan standar etika dan kepatuhan terhadap hukum ketenagakerjaan. Alih-alih bergantung pada praktik yang tidak sah, perusahaan harus fokus pada strategi yang lebih profesional untuk mempertahankan karyawan.
  4. Mengurangi Ketidakpastian Hukum Sebelum kebijakan ini diterbitkan, pekerja sering menghadapi kesulitan dalam mengakses dokumen mereka, terutama ketika terjadi perselisihan dengan pemberi kerja. Dengan adanya aturan yang jelas, pekerja memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 merupakan langkah progresif dalam menghilangkan praktik penahanan dokumen pribadi yang berpotensi merugikan hak pekerja. Secara normatif, kebijakan ini mengartikulasikan prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia sekaligus mendorong pembaharuan dalam hubungan industrial. Meski demikian, implementasi kebijakan memerlukan komitmen bersama antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk memastikan bahwa nilai-nilai keadilan dan transparansi terjaga dalam setiap aspek hubungan kerja. Upaya pengawasan yang lebih intensif serta penyusunan sistem kontrak kerja yang berimbang merupakan kunci keberhasilan transformasi hubungan industrial di Indonesia. Menurut Ombudsman RI, penahanan ijazah oleh perusahaan atau sekolah terus meningkat setiap tahun dan perlu regulasi yang lebih tegas untuk mengatasinya. Sementara itu, Dr. Michael Hans, seorang pakar hukum ketenagakerjaan, menegaskan bahwa Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No. M/5/HK.04.00/V/2025 secara eksplisit melarang perusahaan menahan ijazah pekerja, kecuali dalam kondisi tertentu, seperti jika ijazah diperoleh melalui pendidikan yang dibiayai oleh perusahaan berdasarkan perjanjian tertulis. 

Pandangan Akademisi dan Lembaga Negara

  • Profesor Hadi Subhan (Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Airlangga) menyatakan bahwa penahanan ijazah mencederai hak asasi manusia dan membatasi mobilitas sosial-ekonomi pekerja. Ia menegaskan bahwa absennya regulasi eksplisit selama ini menjadi celah hukum yang dimanfaatkan oleh pengusaha. Pakar Hukum Universitas Airlangga (Unair) Profesor Hadi Subhan menilai bahwa penahanan ijazah bisa mencederai hak asasi manusia karena membatasi mobilitas sosial dan profesional pekerja. Faktanya bahwa, Prof. Hadi mengungkap bahwa penahanan dokumen pribadi seperti ijazah masih kerap ditemukan tak hanya dalam kasus di Surabaya. Sebabnya, belum ada regulasi nasional yang secara eksplisit melarangnya. “Sehingga menimbulkan celah hukum yang kerap dimanfaatkan oleh pengusaha,” kata Guru Besar di Bidang Kepailitan ini dalam keterangannya, Keberhasilan implementasi kebijakan ini akan sangat bergantung pada pengawasan yang ketat dan sosialisasi yang luas, sehingga pekerja dapat memahami hak mereka dan berani melaporkan jika mengalami pelanggaran. Dengan demikian, regulasi ini dapat benar-benar menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan profesional.

     

  • Dr. Michael Hans, pakar hukum ketenagakerjaan, menyatakan bahwa penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan praktik yang mencederai prinsip keadilan dalam hubungan industrial dan bertentangan dengan semangat konstitusi. Ia menyatakan bahwa Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No. M/5/HK.04.00/V/2025 menjadi bentuk koreksi yuridis terhadap kekosongan norma eksplisit yang selama ini dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha untuk menciptakan ketergantungan tidak sehat dalam relasi kerja. Lebih lanjut, Dr. Hans menekankan bahwa meskipun surat edaran tidak memiliki kekuatan mengikat setara undang-undang, ia berfungsi sebagai instrumen normatif penting dalam menciptakan kesadaran hukum di kalangan pemberi kerja. Ia menyebut surat edaran tersebut sebagai “jembatan transisi menuju reformasi regulatif” yang lebih besar dalam sistem hukum ketenagakerjaan nasional. Dr. Hans juga menyerukan pentingnya agar pemerintah segera memperkuat isi surat edaran ini melalui peraturan menteri atau revisi undang-undang, agar tidak hanya berfungsi sebagai anjuran, tetapi sebagai norma yang memuat konsekuensi hukum langsung terhadap pelanggaran.

     

  • Ombudsman RI Dalam beberapa tahun terakhir, Ombudsman Republik Indonesia mencatat peningkatan signifikan jumlah laporan masyarakat terkait penahanan ijazah dan dokumen pribadi oleh perusahaan maupun institusi pendidikan. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan lemahnya penegakan hukum, tetapi juga mengungkap adanya pola sistemik penyalahgunaan wewenang oleh pemberi kerja terhadap posisi rentan pekerja. Menurut keterangan resmi yang dirilis pada awal tahun 2025, Ombudsman RI menyatakan bahwa penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan bentuk maladministrasi yang mengarah pada pelanggaran hak sipil. Penahanan dokumen tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum yang sah dan menciptakan ketimpangan posisi tawar dalam hubungan kerja.

“Kami menerima laporan tahunan mengenai penahanan ijazah yang jumlahnya konsisten meningkat. Ini bukan hanya soal teknis administratif, tapi soal prinsip keadilan dan hak asasi. Pekerja berhak atas akses terhadap dokumen identitas mereka sendiri. Penahanan ijazah menciptakan rasa takut, ketergantungan, dan membatasi kebebasan untuk berpindah kerja.”
— Anggota Ombudsman RI, Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur

Ombudsman juga menekankan bahwa celah hukum terkait penahanan dokumen pribadi selama ini membuat perusahaan bertindak di zona abu-abu. Oleh karena itu, mereka mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan lembaga terkait untuk mengeluarkan regulasi yang bersifat tegas, eksplisit, dan menimbulkan efek jera terhadap pelanggar. Ombudsman menutup dengan seruan bahwa pemerintah perlu melakukan pengawasan aktif dan sosialisasi masifkepada pekerja, terutama di sektor manufaktur, retail, dan rumah tangga yang rawan eksploitasi dokumen pribadi.

Kasus Penahanan Ijazah yang ditahan oleh perusahaan milik Jan Hwa Diana Selaku Pemilik Seal Santoso Menahan sebanyak 108 Ijazah Karyawan
penahanan ijazah oleh pemilik perusahaan Sentoso Seal, Surabaya. Sejumlah para mantan karyawan telah melaporkan bahwa ijazah mereka, yang merupakan bukti pendidikan dan kualifikasi, telah ditahan oleh pihak perusahaan. Dalam kasus yang mencuat, ditemukan sebanyak 108 ijazah yang disimpan tidak sah oleh pemilik perusahaan. pihak kepolisian melakukan penggeledahan dan menetapkan pemilik perusahaan, Jan Hwa Diana, sebagai tersangka dengan tuduhan penggelapan dokumen. Kasus ini dikaitkan dengan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Kejadian ini mendorong intervensi lebih lanjut dari instansi terkait, termasuk Wakil Menteri Ketenagakerjaan, guna mengesahkan surat edaran nomor M/5/HK.04.00/V/2025 sebagai respons untuk mengakhiri praktik serupa di seluruh Indonesia.

  • Sejumlah mantan karyawan melaporkan bahwa ijazah mereka telah ditahan oleh perusahaan. Dalam suatu penggeledahan yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian, ditemukan sebanyak 108 ijazah milik mantan karyawan yang disimpan di kediaman pemilik perusahaan.

  • Tindakan Hukum: Berdasarkan temuan tersebut, Jan Hwa Diana telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan penggelapan dokumen. Kasus ini dinilai sebagai pelanggaran berat, karena tidak hanya merugikan secara materiil tetapi juga mencederai hak fundamental terhadap identitas pribadi dan mobilitas kerja.

Kasus UD Sentoso Seal mengungkapkan bahwa praktik penahanan dokumen telah lama berlangsung dan masih terjadi karena adanya ketimpangan posisi tawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya pengawasan oleh pemerintah dan perlunya penegakan mekanisme hukum yang tegas untuk melindungi hak pekerja. Kasus tersebut juga menjadi faktor pendorong terbitnya Surat Edaran M/5/HK.04.00/V/2025 sebagai upaya mencegah praktik serupa di masa depan.

Kasus tersebut menyoroti bagaimana penahanan dokumen tidak hanya berdampak pada keberlangsungan karier dan hak identitas pekerja secara materiil, tetapi juga memberikan tekanan psikologis dan merusak moral. Selain itu, kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa praktik penahanan ijazah telah menjadi fenomena sistemik yang memerlukan perhatian hukum dan penegakan peraturan secara lebih serius. Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 merupakan langkah penting dalam melindungi hak pekerja dari praktik penahanan dokumen yang tidak sah. Kasus nyata seperti UD Sentoso Seal di Surabaya Memperlihatkan bagaimana praktik ini bisa merugikan pekerja dan menimbulkan konsekuensi hukum bagi perusahaan. 

Written by :  Ryan Arya Ramadhany (Legal Intern)